Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pdf
Mempelajari hukum arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau Alternative Dispute Resolution (ADR) adalah mempelajari bagaimana menangani dan menyelesaikan sengketa perdata diluar dari peradilan umum. Hal ini dikarenakan bahwa dalam suatu hubungan bisnis atau perjanjian selalu erat dengan timbulnya sengketa, dan tentunya para pihak yang bersengketa sangat mengharapkan adanya penyelesaian sengketa itu secara cepat dan pasti.
Atas dasar inilah, dan untuk membantu penulis sebagai mahasiswa dalam mempelajari hukum arbitrase dan ADR, penulis memberanikan diri untuk mengintisari pokok-pokok hukum arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau Alternative Dispute Resolution (ADR). Dalam ketentuan HIR ataupun RBg, penyelesaian sengketa melalui arbitrase diatur dalam pasal 377 HIR atau 705 RBg yang menyebutkan bahwa “jika orang Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh juru pisah atau arbitrase maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan yang berlaku bagi bangsa eropa”. Dengan kata lain, apabila orang Indonesia menginginkan sengketa mereka diselesaikan melalui juru wasit atau arbitrase maka mereka harus tunduk dan mengikuti tata acara perdata yang di atur dalam RV. Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan dari Kolonial Belanda, dan untuk mengatasi terjadinya kekosongan hukum (rechtsvacuum) maka dalam pasal II aturan peralihan UUD 1945 ditegaskan bahwa “semua peraturan yang masih ada masih berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”. Hal ini berarti bahwa ketentuan RV dan HIR ataupun RBg masih tetap berlaku.
Selanjutnya seiring dengan berjalannya waktu, mulai dibentuk ketentuan yang memuat pengaturan mengenai Arbitrase di Indonesia, dan dapat ditemukan dalam beberapa ketentuan undang-undang, antara lain. Di dalam memori penjelasan pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman ditegaskan bahwa “penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit atau arbitrase tetap diperbolehkan”. Dalam hal penyelesaian melalui wasit atau arbitrase yang diperbolehkan tersebut dan oleh karena belum adanya peraturan yang khusus mengatur mengenai arbitrase saat Undang-Undang ini diundangkan, maka penyelesaian melalui wasit atau arbitrase masih menggunakan dasar hukum RV dan HIR atau RBg sebagai hukum acara dalam penyelesaian sengketa. Diundangkannya UU No 30 Tahun 1999 menjadi suatu ketentuan yang baru yang mengatur lembaga arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa perdata di Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk mengganti ketentuan peraturan mengenai arbitrase yang terdahulu, karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kemajuan jaman, khususnya di bidang perdagangan internasional.
Oleh karenanya, ketentuan yang terdahulu yang merupakan produk kolonial Belanda yakni RV dan HIR atau RBg, yang sebelumnya masih digunakan sebagai dasar hukum untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase, dinyatakan tidak berlaku lagi setelah UU No 30 tahun 1999 ini diundangkan. Ketentuan pasal 58 UU No 48 tahun 2009 menyatakan upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Untuk dapat dilakukannya penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan tersebut harus didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa pasal 59 ayat (1). Putusan yang dihasilkan lembaga atrbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak pasal 59 ayat (2), dan apabila para pihak tidak melaksanakan putusan tersebut secara sukarela, maka terkait putusan itu dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa pasal 59 ayat (3). Dalam hal penyelesaian sengketa yang melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa dilakukan dengan kesepakatan para pihak yaitu dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli pasal 60 ayat (1).
Penyelesaian Sengketa Bisnis
Apabila diperoleh kespakatan antara kedua pihak yang bersengketa, maka hasil tersebut harus dituangkan dalam kesepakatan tertulis pasal 60 ayat (2), sehingga kesepakatan itu menjadi suatu keputusan final dan mengikat para pihak untuk dilakukan dengan itikad baik pasal 60 ayat (3). Alternatif penyelesaian sengketa atau Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan suatu upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau disebut upaya Non-Litigasi. Ketentuan pasal 1 angka 10 UU No 30 tahun 1999 menjelaskan, Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Namun undang-undang No 30 tahun 1999 tidak menjabarkan lebih lanjut mengenai pengertian dari masing-masing jenis ADR tersebut. Penyelesaian sengketa melalui lembaga alternatif Penyelesaian sengketa atau Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan penyelesaian sengketa yang bersifat Non-adjudikasi, sedangkan arbitrase adalah adjudikasi. Namun demikian, kedua penyelesaian sengketa tersebut hampir memiliki karekteristik yang serupa, yaitu putusan arbitrase bersifat final (akhir) dan mengikat (binding) kepada para pihak yang bersengketa, demikian juga halnya dengan kesepakatan yang diperoleh melalui alternatif penyelesaian sengketa (ADR) secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dan kesepakatan yang diperoleh tersebut wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak kesepakatan ditandatangani (pasal 6 ayat (7) UU No 30 Tahun 1999). Pada prinsipnya, istilah orang (persoon) berarti pembawa hak, yaitu sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban dan disebut sebagai subjek hukum, yang mencakup manusia (natuurlijke persoon) dan badan hukum (rechtspersoon).
Sebagai pembawa hak atau subjek hukum, manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum seperti mengadakan perjanjian-perjanjian, perkawinan, membuat wasiat, dan sebagainya. Untuk dapat menjadi subjek hukum dalam melakukan tindakan hukum, manusia harus memenuhi persyaratan seperti kecakapan (sudah dewasa atau berusia 21 tahun, telah menikah, dan tidak berada dalam perwalian ataupun pengampuan). Kecakapan untuk membuat suatu perikatan dilihat dari subjek hukum yaitu orang dan badan hukum.
Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pdf 2016
Untuk subjek hukum orang (manusia) harus memenuhi syarat yaitu sudah dewasa - berusia 21 tahun (pasal 330 KuhPerdata) atau telah menikah, dan tidak berada dalam perwalian - orang yang tidak bisa melakukan perbuatan hukum karena belum dewasa (pasal 345-354 KuhPerdata), dan pengampuan - orang yang sudah dewasa tapi tidak dapat melakukan perbuatan hukum karena dungu, sakit juwa, mata gelap (pasal 433 KuhPerdata). Pelepasan Hak / Rechtsverwerking, yaitu mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi. Misalnya, si pembeli (kreditur), meskipun barang yang diterimanya tidak memenuhi kualitas atau mengandung cacat yang tersembunyi, namun ia tidak menegur si penjual (debitur) atau mengembalikan barangnya, tetapi barang itu dipakainya, atau bahkan ia memesan kembali barang seperti itu. Dari sikap tersebut maka dapat disimpulkan bahwa barang itu sudah memuaskan si pembeli/kreditur, singkatnya kreditur telah melepaskan hak untuk menuntut si debitur.
Dalam menyelesaikan sebuah sengketa di lingkup perdagangan khususnya, ada sebuah alternatif yang disebut arbitrase. Sesuai yang tertuang pada pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.Alternatif ini menjadi lebih banyak diminati pelaku bisnis karena beberapa hal, antara lain karena lebih efisien (baik dari sisi waktu maupun biaya) dan menerapkan prinsip win-win solution. Proses persidangan dan putusan arbitrase pun bersifat rahasia sehingga tidak dipublikasikan, tetapi tetap bersifat final dan mengikat. DI samping itu, arbiter yang ditunjuk sebagai pemeriksa perkara pun merupakan seorang yang ahli dalam permasalahan yang tengah disengketakan sehingga dapat memberikan penilaian lebih matang dan objektif. Prosedur yang Harus Dilakukan dalam Penyelesaian Sengketa Melalui ArbitraseSegala macam sengketa yang akan diselesaikan melalui arbitrase harus memenuhi syarat bahwa kedua pihak yang bersengketa setuju untuk menyelesaikannya melalui arbitrase. Dengan demikian, sengketa tidak akan dilanjutkan ke lembaga peradilan.
Persetujuan ini dilampirkan dalam klausula arbitrase, baik yang dibuat sebelum munculnya perselisihan maupun setelahnya.Sebelum membahas lebih jauh terkait prosedur penyelesaian sengketa perdata melalui arbitrase, perlu diketahui bahwa ada dua opsi dalam menyelesaikan sengketa dengan arbitrase. Pihak-pihak yang bersengekata dalam klausula arbitrasenya juga harus menyertakan, apakah penyelesaian kasus ini akan dilaksanakan secara lembaga (institusional) atau ad hoc.
Lembaga ArbitraseSesuai namanya, jasa arbitrase ini didirikan dan bersifat melekat pada sebuah lembaga tertentu. Umumnya, lembaga arbitrase institusional memiliki prosedur dan tata cara dalam memeriksa kasus tersendiri. Arbiternya pun diangkat dan ditentukan oleh lembaga arbitrase institusional sendiri. Di Indonesia, ada dua lembaga arbitrase yang dapat menjadi penengah kasus sengketa, yakni BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia), BAPMI (Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia), dan BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional Indonesia). Ad HocSIfat arbitrase ad hoc hanyalah sementara, artinya dibentuk setelah sebuah sengketa terjadi dan akan berakhir setelah putusan dikeluarkan. Arbiternya dapat dipilih oleh masing-masing pihak yang berselisih. Namun jika para pihak tidak menunjuk arbiter sendiri, mereka dapat meminta bantuan pengadilan untuk mengangkat arbiter sebagai pemeriksa dan pemutus kasus sengketa.
Upgrade Tally 7.2 Gold to Tally.ERP 9 Gold South Asia(DVD): Amazon.in: Software. Tally gold multi user. Upgrade To Tally 7.2 / 6.3 Gold to Tally.ERP 9 Gold.
Adapun syarat-syarat seorang arbiter juga telah tertuang dalam pasal 9 ayat 3 Peraturan Prosedur Arbitrase Badan Arbitrase Nasional Indonesia.Baca juga:Pada prinsipnya, prosedur penyelesaian sengketa melalui arbitrase melalui lembaga institusional dan ad hoc tidak terlalu banyak berbeda. Berikut ini adalah prosedur yang harus dilakukan dalam menyelesaikan sengketa. Pendaftaran dan Permohonan ArbitraseSeperti yang disampaikan sebelumnya, kesepakatan penyelesaian sengketa melalui arbitrase harus disetujui dua belah pihak.
Sebelum berkas permohonan dimasukkan, Pemohon harus lebih dulu memberitahukan Termohon bahwa sengketa akan diselesaikan melalui jalur arbitrase. Surat pemberitahuan ini wajib diberikan secara tertulis dan memuat lengkap informasi seperti yang tertuang pada Undang-Undang No. 39 Tentang Arbitrase pasal 8 ayat 1 dan 2, yakni:. Nama dan alamat lengkap Pemohon dan Termohon;. Penunjukan klausula arbitrase yang berlaku;. Perjanjian yang menjadi sengketa;.
Dasar tuntutan;. Jumlah yang dituntut (apabila ada);. Cara penyelesaian sengketa yang dikehendaki; dan. Perjanjian tentang jumlah arbiter (atau jika tidak memiliki perjanjian ini, Pemohon dapat mengajukan jumlah arbiter yang dikehendaki dan harus dalam jumlah yang ganjil. Penunjukan arbiter ini juga dapat diserahkan kepada ketua BANI atau melalui pengangkatan Ketua Pengadilan Negeri).Sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Prosedur Arbitrase Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), prosedur penyelesaian sengketa melalui arbitrase dimulai dari pendaftaran dan permohonan arbitrase kepada Sekretariat BANI. Hal ini dilakukan oleh pihak yang memulai proses arbitrase alias Pemohon. Penyerahan permohonan ini juga disertai dengan pembayaran biaya pendaftaran dan administrasi (meliputi biaya administrasi sekretariat, pemeriksaan perkara, arbiter, dan Sekretaris Majelis).Setelah permohonan diterima dan pembayaran dilunasi, permohonan akan didaftarkan ke dalam register BANI.
Permohonan akan diperiksa untuk kemudian ditentukan apakah perjanjian arbitrase cukup memberikan dasar kewenangan bagi BANI untuk melakukan pemeriksaan sengketa tersebut. Penunjukan ArbiterMerujuk pada UU Arbitrase pasal 8 ayat 1 dan 2 yang disebutkan sebelumnya, pemohon dan termohon dapat memiliki kesepakatan mengenai arbiter.
Kesepakatan ini dituliskan pada permohonan arbitrase yang disampaikan Pemohon dan dalam jawaban Termohon (dijelaskan pada poin 3 mengenai Tanggapan Pemohon).Forum arbitrase dapat dipimpin hanya oleh seorang arbiter (arbiter tunggal) atau Majelis. Hal ini berdasarkan kesepakatan dua belah pihak. Adapun yang dimaksud dengan arbiter tunggal dan Majelis adalah seperti berikut ini. Jika diinginkan cukup arbiter tunggal, Pemohon dan Termohon wajib memiliki kesepakatan tertulis mengenai hal ini.
Pemohon mengusulkan kepada Termohon sebuah nama yang akan dijadikan sebagai arbiter tunggal. Apabila dalam kurun waktu 14 hari sejak usulan diterima tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka Ketua Pengadilan dapat melakukan pengangkatan arbiter tunggal. Jika diinginkan Majelis, maka Pemohon dan Termohon masing-masing menunjuk seorang arbiter. Karena jumlah arbiter harus ganjil, arbiter yang ditunjuk oleh dua belah pihak harus menunjuk seorang arbiter lagi untuk menjadi arbiter ketiga (akan menjadi Ketua Majelis). Jika dalam kurun waktu 14 hari belum mencapai kesepakatan, maka Ketua Pengadilan Negeri akan mengangkat arbiter ketiga dari salah satu nama yang diusulkan salah satu pihak.Sementara itu, apabila salah satu pihak tidak dapat memberikan keputusan mengenai usulan nama arbiter yang mewakili pihaknya dalam kurun waktu 30 hari sejak Termohon menerima surat, maka seorang arbiter yang telah ditunjuk salah satu pihak menjadi arbiter tunggal.
Putusan arbiter tunggal ini tetap akan mengikat dua belah pihak. Tanggapan TermohonSetelah berkas permohonan didaftarkan, Badan Pengurus BANI akan memeriksa dan memutuskan apakah BANI memang berwenang untuk melakukan pemeriksaan sengketa, maka Sekretaris Majelis harus segera ditunjuk. Jumlah Sekretaris Majelis boleh lebih dari satu dan bertugas untuk membantu pekerjaan administrasi kasus.
Sekretariat menyiapkan salinan permohonan arbitrase pemohon dan dokumen-dokumen lampiran lainnya dan menyampaikannya kepada Termohon.Termohon memiliki waktu sebanyak 30 hari untuk memberi jawaban atas permohonan tersebut. Hal ini merupakan kewajiban Termohon. Termasuk di dalam jawaban tersebut adalah usulan arbiter. Apabila dalam jawaban tersebut tidak disampaikan usulan arbiter, maka secara otomatis dan mutlak penunjukan menjadi kebijakan Ketua BANI.Batas waktu 30 hari dapat diperpanjang melalui wewenang Ketua BANI dengan syarat tertentu. Termohon menyampaikan permohonan perpanjangan waktu untuk menyampaikan jawaban atau menunjuk arbiter dengan menyertakan alasan-alasan yang jelas dan sah. Maksimal perpanjangan waktu tersebut adalah 14 hari. Tuntutan BalikDalam jangka waktu 30 hari tersebut, Termohon harus mengajukan tanggapannya kepada BANI untuk kemudian diserahkan kepada Majelis dan Pemohon.
Jawaban tersebut harus mengandung keterangan mengenai fakta-fakta yang mendukung permohonan arbitrase berikut butir-butir permasalahannya. Di samping itu, Termohon juga berhak melampirkan data dan bukti lain yang relevan terhadap kasus tersebut.Jika ternyata Termohon bermaksud untuk mengajukan suatu tuntutan balik (rekonvensi), maka tuntutan tersebut dapat pula disertakan bersamaan dengan pengajuan Surat Jawaban. Tuntutan balik ini juga dapat diajukan selambat-lambatnya pada saat sidang pertama. Namun pada kondisi tertentu, Termohon dapat mengajukan tuntutan balik pada suatu tanggal dengan memberi jaminan yang beralasan.
Tentu saja, hal ini juga dilakukan atas wewenang dan kebijakan Majelis.Seperti prosedur permohonan arbitrase di awal, pihak Pemohon yang mendapat tuntutan balik dari Termohon diberi waktu selama 30 hari (atau sesuai dengan kebijakan Majelis) untuk memberi jawaban atas tuntutan tersebut. Yang perlu diingat, tuntutan balik ini dikenakan biaya tersendiri dan harus dipenuhi oleh kedua belah pihak.
Apabila tanggungan biaya ini terselesaikan oleh kedua belah pihak, barulah tuntutan balik akan diperiksa dan diproses lebih lanjut bersama-sama dengan tuntutan pokok.